Mencari Arah Sujud Hakiki

Indonesia sangat terkenal sebagai sebuah negara yang penduduknya sangat agamis. Berbagai agama bisa tumbuh dan berkembang dengan kemudahan yang sangat mengesankan. Masyarakat bebas untuk memilih dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Mayoritas penduduk indonesia menurut data-data statistik adalah beragama Islam, kemudian baru diikuti oleh agama-agama lain seperti Nasrani (Kristen dan Katolik), Hindu, Budha, dan Kong hu cu… Karena mengaku beragama, maka masyarakat Indonesia juga sangat familiar sekali dengan kata-kata TUHAN, ALLAH. Kata-kata yang melambangankan atau mewakili suatu wujud yang sangat dipentingkan, yang disembah, yang dimulyakan, yang dihormati, dan yang dimintai do’a oleh mereka disetiap saat. Oleh sebab itu saat masyarakat ditanya tentang siapa yang menciptakan mereka, siapa yang menciptakan dunia dengan segala isinya, maka jawabannya nyaris seragam pula, yaitu Tuhan, Allah. Sebuah jawaban klasik bagi orang-orang beragama: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”, (Az Zukhruf 87) “Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." …” (Ar Ra’d 16) Sampai dipengakuan seperti ini, belum ada perbedaan yang cukup berarti bagi agama-agama yang ada tersebut. Andaikan masing-masing penganut agama itu bersama-sama datang mengunjungi korban banjir di Jakarta untuk memberikan bantuan, tanpa mereka menggunakan atribut keagamaan mereka masing-masing, maka kita akan sangat sulit sekali membedakan agama mereka satu sama lainnya. Pekerjaannya sama, yaitu membantu korban banjir. Bahkan ketika ditanya dasar mereka memberikan bantuan itu, jawabannya juga nyaris sama pula. Bahwa semua perbuatan itu mereka lakukan atas nama Tuhan. Mereka mengaku menjadi tangan-tangan Tuhan dalam membantu sesama umat manusia yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya adalah sesuatu yang lumrah saja ketika seseorang yang mengaku beragama melakukan sebuah ritual untuk menyembah Tuhan yang dia hormati. Istilah yang dipakai untuk ritual penyembahan Tuhan inipun kadang-kadang bisa pula sama, yaitu sembahyang. Bedanya secara kasat mata baru akan kentara ketika kita melihatnya dalam hal syariatnya, tata cara, gerakan, dan bacaannya. Syariat untuk ritual penyembahan Tuhan dalam agama Islam dikenal dengan istilah Shalat. Tata cara, bacaan, gerakannya diwariskan dari Rasulullah ke generasi ke generasi umat Islam berikutnya melalui Al Hadist. Begitu masuk ke shalat, maka paling tidak kita bisa menilai bahwa orang yang shalat tersebut memakai sistem nilai Islam dalam penyembahannya kepada Tuhan. Sistem nilai inilah salah satu kriteria yang akan membedakan setiap penganut agama ketika mereka melakukan ritual penyembahan dan penghormatan kepada Tuhan. Perbedaan tata cara ritual penyembahan Tuhan diantara agama-agama yang ada juga adalah sebuah hal yang niscaya saja sebenarnya. Karena dari tata cara yang berbeda itulah kita bisa membedakan antara orang beragama Islam dengan orang yang beragama lainnya. Jadi untuk perbedaan tata cara penyembahan ini tidak akan kita bahas disini. Yang akan kita coba kupas lebih dalam adalah ketika seseorang mengaku sedang menyembah Tuhan, penyembahannya itu ditujukannya ke alamat mana, ke arah mana? Alamat penyembahan ini yang saya coba istilahkan dengan ARAH FIKIR atau ARAH KESADARAN kita saat menyembah Tuhan.. Kenapa kita butuh Alamat atau Arah Fikir yang tepat menuju Tuhan yang dimaksudkan oleh sistem nilai yang kita anut ?. Jawabannya sederhana saja. Boleh jadi saat kita tengah melakukan ritual penyembahan kepada Tuhan, walau dengan syariat yang berbeda, akan tetapi boleh jadi pula saat itu arah pikir kita tidak ada bedanya sama sekali antara satu agama dengan agama lainnya. Lalu kalau arah pikir kita sama saja dengan arah pikir penganut agama lain saat kita menyembah Tuhan, apa bedanya kita dengan penganut agama lain itu…?. Tentang arah pikir kita saat kita menyembah Tuhan ini, Al Qur’an mengindikasikan ada beberapa alamat, yaitu: “… Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, …(Fushshilat 37). Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka, (An Nisaa’ 117) Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya".(Asy Syu’araa 71) Beberapa ayat berikut ini juga menerangkan betapa beragamnya kemungkinan arah pikir kita saat menyembah Tuhan: Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah… (Al Baqarah, 2:165), misalnya: “…mereka menyembah anak sapi,…”(An Nisaa’ 153); “…menyembah thaghut?...(Al Maidah 60); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam…” (At Taubah 31); “…menyembah syaitan…” (Maryam 44); “…Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini… (Thahaa 91); “…menyembah matahari…” (An Naml 24); menyembah jin (Saba’ 41); “…menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” (Ash shaaffaat 95); “… menyembah Ba`l…” (Ash shaaffaat 125 Dari ayat-ayat diatas kita bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa umat manusia ini ternyata bisa mengalamatkan penyembahannya kepada berbagai bentuk benda atau manusia yang yang ada di sekitarnya. Mulai dari bentuk-bentuk sederhana yang terlihat dan teraba sampai kepada bentuk yang mungkin hanya ada bayangannya saja. Lalu kalau kita berbicara tentang otak kita, maka otak kita tersebut tidak terlalu membedakan benar antara benda nyata dengan benda yang hanya sekedar bayangan saja. Reaksi otak kita sama saja. Saat kita melihat seekor sapi, atau patung sapi, atau hanya sekedar membayang seekor sapi saja, maka hampir secara otomatis arah pikir kita akan tertuju kepada hal-hal tersebut. Artinya walaupun di depan mata kita saat itu tidak ada sapi ataupun patungnya, akan tetapi saat itu kita tengah membayangkan sapi tersebut di dalam otak kita, maka pada hakekatnya saat itu juga kita tengah mengarahkan rasa ingat kita kepada wujud seekor sapi. Nah, di zaman Nabi Musa, umat Beliau suatu ketika melakukan penghormatan dan penyembahan kepada sapi atau patungnya ketika mereka mengaku sedang menyembah Tuhan. Dan hal yang sama juga telah dilakukan oleh umat-umat yang lainnya dengan objek penyembahan yang lain pula. Ada yang menyembah orang-orang alim, rahib-rahib, Isa Al Masih, Matahari, Bulan, Jin, Syetan, dan berbagai bentuk benda lainnya ketika mereka mengaku sedang menyembah Tuhan. Apapun namanya itu, selagi yang disembah itu masih ada rupanya, ada warnanya, ada bentuknya, ada bayangannya, dan ada suaranya, maka semua itu sama saja. Semua masih dianggap oleh Al Qur’an sebagai berhala. Dan yang menyembahnya disebut sebagai penyembah berhala. Jadi yang namanya penyembah berhala itu, ya sama saja sebenarnya, yaitu orang yang masih mengarahkan alamat penyembahannya kepada apa-apa yang masih dapat dibayangkan, digambarkan, diraba, dirasakan, dilihat, dan didengarkan. Semua itu satu sama lainnya masih bisa diperbandingkan. Ya…, yang namanya berhala-berhala itu pastilah ada bandingannya. A bandingannya adalah B, atau C, atau D…, dan seterusnya. Walaupun begitu, otak kita ini memang punya kecenderungan yang aneh. Begitu kita mengarahkan arah fikir kita kepada sebuah objek tertentu, lalu kita berhenti di objek fikir tersebut, maka otak kita akan diam buat sejenak. Otak kita akan berada dalam suasana yang tidak bergejolak lagi, paling tidak untuk beberapa saat. Orang-orang menyebutnya dengan keadaan otak yang berada pada kondisi gelombang Alpha, Betha, Theta, dan sebagainya. Dan secara mengherankan pula, begitu otak kita rileks tersebut, hampir secara otomatis pula dada kita akan hidup. Dada yang hidup tersebut akan meningkatkan rasa di dada kita. Sehingga seringkali orang yang sudah berada dalam suasana seperti ini akan mudah sekali menangis, akan gampang merasakan kedamaian dan kebahagiaan dibandingkan dengan saat sebelumnya dimana pikiran mereka masih bergejolak kian kemari. Karena ada pengaruh yang menenangkan dan membahagiakan itu, maka biasanya orang lalu akan menganggap A, atau B, atau C, atau berhala-berhala itu tadi sebagai sesuatu yang mempunyai manfaat. Lalu berhala itu dihormati orang, disembah orang. Walaupun mereka mengatakan bahwa mereka bukan menyembah berhala, bahwa mereka mengaku masih menyembah Tuhan, akan tetapi karena arah pikir mereka saat sedang menyembah Tuhan itu melenceng jauh dari WUJUD HAKIKI Tuhan, maka pada hakikatnya mereka tetaplah sedang menyembah berhala. Sekarang, sebagai seorang beragama Islam, marilah kita masing-masing menengok sejenak kemana kita mengarahkan arah pikir kita selama kita melakukan shalat. Mulai dari takbiratuil ihram sampai salam: Ø Saat kita mengucapkan Allahu Akbar, alamat arah pikir kita sedang kemana, maka arah yang kita pikirkan itulah yang kita maksudkan dengan Sang Maha Besar. Ø Saat kita mengatakan inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati wal ardhi, arah pikir kita sedang ditujukan ke wujud apa, maka alamat itulah yang kita sebut sebagai wajah yang menciptakan langit dan bumi itu. Ø Saat kita mengucapkan pengakuan kita: Bismillahir rahmaanir rahiim, arah pikir kita sedang berada pada sebuah masalah yang sedang kita hadapi, atau kepada wujud tertentu yang sedang muncul di dalam otak kita, maka saat itu sebenarnya kita sedang mengungkapkan bai’at kita bahwa kita melakukan segala sesuatu atas nama masalah tersebut, bahwa kita melakukan segala sesuatu untuk mewakili masalah kita atau wujud tertentu itu. Ø Saat kita mengucapkan: Iyyaaka na’buduu wa iyyaaka nasta’iin, arah pikir kita sedang berada pada orang-orang yang kita cintai ataupun pada orang yang sedang kita benci, maka kepada merekalah sebenarnya kita sedang menyatakan bahwa kita menyembah dan meminta tuntunan kepada mereka. Ø Dan seterusnya sampai salam…, kemana dan apa saja arah pikir kita saat itu, maka itulah sebenarnya yang kita sembah, kita puja, kita hormati, dan kita mintai perkenan do’a… Kita yang saat ini hidup dizaman modern ini, seringkali mempunyai arah fikir yang jauh lebih banyak pula, walau dalam shalat sekalipun. Sehingga dalam shalat pun kita sering sekali pada saat yang sama tengah mengingat masalah-masalah kita, mengingat orang atau benda yang kita cintai, mengarahkan fikiran kita kepada arti-arti yang akan membawa kita kepada bayangan-bayangan atau harapan-harapan. Oleh sebab itu, sudahkah kita menemukan arah fikir kita menuju Wujud Hakiki saat kita menyembah, memuji, dan menghormati sesuatu yang kita anggap sebagai TUHAN?. Sebab yang namanya Wujud penyembahan bagi umat islam pastilah Wujud yang tidak ada bandingan-Nya, Wujud laisa kamistlihi syai’un. Wujud yang mengenalkan dirinya sebagai ALLAH: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14). Kalau belum, boleh jadi saat shalat itu, kita pada hakekatnya tengah menyembah berhala modern. Berhala dengan berbagai rupa, warna, bunyi, huruf, dan kalimat-kalimat. Padahal agama Islam diturunkan Allah kepada Muhammad SAW untuk merevolusi arah fikir umat manusia saat menyembah Tuhan. Islam mengajak umat manusia agar tidak tersesat arah saat mereka menyembah Tuhan. Tersesat dari menyembah berbagai macam berhala yang nyaris tak terbatas menuju penyembahan yang semata-mata hanya kepada Wujud Allah, Aku-Nya Allah. Dan kepada Aku-Nya itulah kita harus selalu ingat ketika kita mendirikan shalat. Semoga kita selalu berada dalam tuntunan Allah… Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar